Kamis, 18 Oktober 2012

Sandaran Masa Depan

Alkisah, ada seorang anak yang bertanya pada ibunya, “Ibu, temanku tadi cerita kalau ibunya selalu membiarkan tangannya sendiri digigit nyamuk sampai nyamuk itu kenyang supaya ia tak menggigit temanku. Apa ibu juga akan berbuat yang sama?”
Sang ibu tertawa dan menjawab terus terang, “Tidak. Tapi, Ibu akan mengejar setiap nyamuk sepanjang malam supaya tidak sempat menggigit kamu atau keluarga kita.”
Mendengar jawaban itu, si anak tersenyum dan kembali meneruskan kegiatan bermainnya. Tak berapa lama kemudian, si anak kembali berpaling pada ibunya. Ternyata mendadak ia teringat sesuatu. “Terus Bu, aku waktu itu pernah dengar cerita ada ibu yang rela tidak makan supaya anak-anaknya bisa makan kenyang. Kalau ibu bagaimana?” Anak itu mengajukan pertanyaan yang hampir sama.
Kali ini sang Ibu menjawab dengan suara lebih tegas, “Ibu akan bekerja keras agar kita semua bisa makan sampai kenyang. Jadi, kamu tidak harus sulit menelan karena melihat ibumu menahan lapar.”
Si anak kembali tersenyum, dan lalu memeluk ibunya dengan penuh sayang. “Makasih, Ibu. Aku bisa selalu bersandar pada Ibu.”
Sembari mengusap-usap rambut anaknya, sang Ibu membalas, “Tidak, Nak! Tapi Ibu akan mendidikmu supaya bisa berdiri kokoh di atas kakimu sendiri, agar kamu nantinya tidak sampai jatuh tersungkur ketika Ibu sudah tidak ada lagi di sisimu. Karena tidak selamanya ibu bisa mendampingimu.”

Ada berapa banyak orangtua di antara kita yang sering kali merasa rela berkorban diri demi sang buah hati? Tidak sadarkah kita bahwa sikap seperti itu bisa menumpulkan mental pemberani si anak?
Jadi, adalah bijak bila semua orangtua tidak hanya menjadikan dirinya tempat bersandar bagi buah hati mereka, melainkan juga membuat sandaran itu tidak lagi diperlukan di kemudian hari. Adalah bijak jika para orangtua membentuk anak-anaknya sebagai pribadi mandiri kelak di saat orangtua itu sendiri tidak bisa lagi mendampingi anak-anaknya di dunia.

Katak Dan Siput

Ada seekor siput selalu memandang sinis terhadap katak. Suatu hari, katak yang kehilangan kesabaran akhirnya berkata kepada siput: “Tuan siput, apakah saya telah melakukan kesalahan, sehingga Anda begitu membenci saya?”
Siput menjawab: “Kalian kaum katak mempunyai empat kaki dan bisa melompat ke sana ke mari, Tapi saya mesti membawa cangkang yang berat ini, merangkak di tanah, jadi saya merasa sangat sedih.”
Katak menjawab: “Setiap kehidupan memiliki penderitaannya masing-masing, hanya saja kamu cuma melihat kegembiraan saya, tetapi kamu tidak melihat penderitaan kami (katak).”
Dan seketika, ada seekor elang besar yang terbang ke arah mereka, siput dengan cepat memasukan badannya ke dalam cangkang, sedangkan katak dimangsa oleh elang.
Nikmatilah kehidupanmu, tidak perlu dibandingkan dengan orang lain. keirian hati kita terhadap orang lain akan membawa lebih banyak penderitaan. Lebih baik pikirkanlah apa yang kita miliki. Hal tersebut akan membawakan lebih banyak rasa syukur dan kebahagiaan bagi kita sendiri.

Jumat, 12 Oktober 2012

Lebih bahagia memberi ♥

Suatu sore,seorang mahasiswa berjalan bersama dosennya. Ketika mereka melihat sepasang sepatu butut di tepi jalan. Mereka yakin sepatu tersebut milik seorang pekerja rendahan yang bekerja dihutan. Sang mahasiswa berpaling pada dosennya seraya berkata,"mari kita sembunyikan sepatunya,lalu kita bersembunyi dibalik semak-semak dan melihat apa yang terjadi kemudian." Dosen itu menjawab,"sobatku, kita tidak seharusnya bersenang2 dengan mengorbankan orang miskin. Engkau dapat melakukan sesuatu yang lebih baik, dan itu akan mendatangkan kesenangan besar dalam dirimu. Caranya adalah memasukkan uang kedalam kedua sepatu bututnya. Setelah itu kita bersembunyi untuk melihat reaksi orang tersebut." Mahasiswa itu pun melakukan apa yg dikatakan dosennya,lalu mereka bersembunyi di balik semak2. Tak lama kemudian, si empunya sepatu keluar dari hutan dan bergegas mengambil sepatunya. Ketika memasukkan salah satu kakinya,ia merasakan ada benda yg mengganjal. Ia pun merogoh ke dalam sepatu. Ia nampak terkejut dan terheran karena ada uang dalam sepatunya. Ia memegang sambil menatap uang tersebut, lalu melihat ke sekeliling apakah ada org di sekitarnya. Tapi,ia tidak melihat seorangpun disana. Lalu ia memasukkan uang tersebut kekantongnya,sambil memasang sepatu lainnya. Tapi,lagi2 ia terkejut karena ada uang dalam sepatunya yang satu lagi. Perasaan haru menguasainya, ia jatuh tersungkur dan menengadah ke atas. Doa ucapan syukur terdengar jelas dari mulutnya. Ia berbicara mengenai istrinya yang sakit, serta anaknya yang kelaparan karena tak ada uang. Ia bersyukur atas kemurahan yg Tuhan berikan melalui orang yg ia tidak ketahui. Melihat hal itu,sang mahasiswa meneteskan airmata. Ia berpaling pada dosennya seraya berkata, 
"kau telah memberiku pelajaran yang tak kan kulupakan. Kini aku mengerti apa yang tertulis dalam Alkitab bahwa lebih berbahagia memberi daripada menerima."

Sad Story

Seorang anak lelaki memasuki Pet Shop bertuliskan
"Dijual Anak Anjing".
Ia bertanya :
 
"Berapa harga seekor anak anjing?"
Pemilik toko jawab, "Sekitar 30 sampai 50 Dollar."
Anak itu brkata,
"Aku hanya mmpunyai 23,5 Dollar. Bisakah aku melihat anak anjing itu?"

Pemilik toko trsenyum. Ia lalu bersiul. Tak lama kemudian muncullah 5 ekor anak anjing sambil berlarian.
 

Tapi ada seekor yang tampak tertinggal di belakang.
Anak itu bertanya,
"Kenapa anak anjing itu?"
Pemilik toko menjelaskan bahwa anak anjing itu menderita cacat karena kelainan di pinggul saat lahir.
Anak lelaki itu tampak gembira & berkata,
"Aku beli anak anjing itu."

Pemilik toko menjawab, "Jgn, jgn beli anak anjing cacat itu, Nak. Jika kau ingin memilikinya, aku akan berikan saja untukmu."
Anak itu kecewa.
Ia menatap pemilik toko itu dan berkata,
"Aku tak mau diberikan cuma-cuma. Meski cacat, harganya sama seperti anak anjing lainnya. Aku akan bayar penuh. Saat ini uangku 23,5 Dollar. Setiap hari aku akan mengangsur 0,5 Dollar sampai lunas."

Tetapi lelaki itu menolak, "Nak, jgn beli anak anjing ini. Dia tidak bisa lari cepat, tidak bisa melompat & bermain seperti anak anjing lainnya."
Anak itu terdiam. Lalu ia menarik ujung celana panjangnya. Dan tampaklah kaki yang cacat.

Ia menatap pemilik toko itu & berkata,
"Tuan, aku pun tidak bisa berlari cepat. Akupun tidak bisa melompat-lompat dan bermain-main seperti anak lelaki lain. Oleh karena itu aku tahu, bahwa anak anjing itu membutuhkan Sseorang yg bisa mengerti penderitaannya."

Pemilik toko itu terharu & berkata,
"Aku akan berdoa setiap hari agar anak-anak anjing ini mempunyai majikan sebaik engkau."

Nilai kemuliaan hidup bukanlah terletak pada status ataupun ke lebihan yang kita miliki,
melainkan pada apa yang kita lakukan berdasarkan pada Hati Nurani.
Yang mengerti & mnerima kekurangan.


Remember !
"Keindahan fisik bukanlah jaminan keindahan batinnya".

God's Plan always beautiful :" )♥

Ketika aku masih kecil,
waktu itu ibuku sdg menyulam sehelai kain..
Aku yg sdg bermain di lantai, melihat ke atas dan bertanya, apa yg ia lakukan
Ia menerangkan bahwa ia sdg menyulam sesuatu di atas sehelai kain
Tetapi aku memberitahu kepadanya, bahwa yg kulihat dari bawah adalah benang ruwet..

Ibu dgn tersenyum memandangiku dan berkata dgn lembut:
"Anakku, lanjutkanlah permainanmu, sementara ibu menyelesaikan sulaman ini; nanti setelah selesai, kamu akan kupanggil dan kududukkan di atas pangkuan ibu dan kamu dapat melihat sulaman ini dari atas."

Aku heran,
mengapa ibu menggunakan benang hitam dan putih, begitu semrawut menurut pandanganku..
Beberapa saat kemudian, aku mendengar suara ibu memanggil:
"anakku, mari kesini, dan duduklah di pangkuan ibu."
Waktu aku lakukan itu, aku heran dan kagum melihat bunga2 yg indah,
dgn latar belakang pemandangan matahari yg sdg terbit,
sungguh indah sekali..

Aku hampir tdk percaya melihatnya,
karena dari bawah yg aku lihat hanyalah benang-benang yg ruwet..

Kemudian ibu berkata:
"Anakku, dari bawah memang nampak ruwet dan kacau, tetapi engkau tdk menyadari bahwa di atas kain ini sudah ada gambar yg direncanakan, sebuah pola,
Ibu hanya mengikutinya.. Sekarang,
dgn melihatnya dari atas kamu dapat melihat keindahan dari apa yg ibu lakukan..


Sering selama bertahun-tahun, aku melihat ke atas dan bertanya kepada Tuhan:
"Tuhan, apa yg Engkau lakukan?"
Ia menjawab:
"Aku sdg menyulam kehidupanmu."


Dan aku membantah,
"Tetapi nampaknya hidup ini ruwet, benang-benangnya banyak yg hitam, mengapa tdk semuanya memakai warna yg cerah?"

Kemudian Tuhan menjawab," Anakku, kamu teruskan pekerjaanmu, dan AKU juga akan menyelesaikan pekerjaanKu di bumi ini..
Suatu saat nanti kamu akan menyadari betapa AKU sudah mempersiapkan kehidupan yg terbaik buatmu,
dan kamu akan melihat rencanaKu yg indah dari sisiKu..


Selamat menyulam hidup, Tuhan memberkati :)

Merried or Not you Should read this !

“When I got home that night as my wife served dinner, I held her hand and said, I’ve got something to tell you. She sat down and ate quietly. Again I observed the hurt in her eyes.

Suddenly I didn’t know how to open my mouth. But I had to let her know what I was thinking. I want a divorce. I raised the topic calmly. She didn’t seem to be annoyed by my words, instead she asked me softly, why?

I avoided her question. This made her angry. She threw away the chopsticks and shouted at me, you are not a man! That night, we didn’t talk to each other. She was weeping. I knew she wanted to find out what had happened to our marriage. But I could hardly give her a satisfactory answer; she had lost my heart to Jane. I didn’t love her anymore. I just pitied her!

With a deep sense of guilt, I drafted a divorce agreement which stated that she could own our house, our car, and 30% stake of my company. She glanced at it and then tore it into pieces. The woman who had spent ten years of her life with me had become a stranger. I felt sorry for her wasted time, resources and energy but I could not take back what I had said for I loved Jane so dearly. Finally she cried loudly in front of me, which was what I had expected to see. To me her cry was actually a kind of release. The idea of divorce which had obsessed me for several weeks seemed to be firmer and clearer now.

The next day, I came back home very late and found her writing something at the table. I didn’t have supper but went straight to sleep and fell asleep very fast because I was tired after an eventful day with Jane. When I woke up, she was still there at the table writing. I just did not care so I turned over and was asleep again.

In the morning she presented her divorce conditions: she didn’t want anything from me, but needed a month’s notice before the divorce. She requested that in that one month we both struggle to live as normal a life as possible. Her reasons were simple: our son had his exams in a month’s time and she didn’t want to disrupt him with our broken marriage.

This was agreeable to me. But she had something more, she asked me to recall how I had carried her into out bridal room on our wedding day. She requested that every day for the month’s duration I carry her out of our bedroom to the front door ever morning. I thought she was going crazy. Just to make our last days together bearable I accepted her odd request.

I told Jane about my wife’s divorce conditions. . She laughed loudly and thought it was absurd. No matter what tricks she applies, she has to face the divorce, she said scornfully.

My wife and I hadn’t had any body contact since my divorce intention was explicitly expressed. So when I carried her out on the first day, we both appeared clumsy. Our son clapped behind us, daddy is holding mommy in his arms. His words brought me a sense of pain. From the bedroom to the sitting room, then to the door, I walked over ten meters with her in my arms. She closed her eyes and said softly; don’t tell our son about the divorce. I nodded, feeling somewhat upset. I put her down outside the door. She went to wait for the bus to work. I drove alone to the office.

On the second day, both of us acted much more easily. She leaned on my chest. I could smell the fragrance of her blouse. I realized that I hadn’t looked at this woman carefully for a long time. I realized she was not young any more. There were fine wrinkles on her face, her hair was graying! Our marriage had taken its toll on her. For a minute I wondered what I had done to her.

On the fourth day, when I lifted her up, I felt a sense of intimacy returning. This was the woman who had given ten years of her life to me. On the fifth and sixth day, I realized that our sense of intimacy was growing again. I didn’t tell Jane about this. It became easier to carry her as the month slipped by. Perhaps the everyday workout made me stronger.

She was choosing what to wear one morning. She tried on quite a few dresses but could not find a suitable one. Then she sighed, all my dresses have grown bigger. I suddenly realized that she had grown so thin, that was the reason why I could carry her more easily.

Suddenly it hit me… she had buried so much pain and bitterness in her heart. Subconsciously I reached out and touched her head.

Our son came in at the moment and said, Dad, it’s time to carry mom out. To him, seeing his father carrying his mother out had become an essential part of his life. My wife gestured to our son to come closer and hugged him tightly. I turned my face away because I was afraid I might change my mind at this last minute. I then held her in my arms, walking from the bedroom, through the sitting room, to the hallway. Her hand surrounded my neck softly and naturally. I held her body tightly; it was just like our wedding day.

But her much lighter weight made me sad. On the last day, when I held her in my arms I could hardly move a step. Our son had gone to school. I held her tightly and said, I hadn’t noticed that our life lacked intimacy. I drove to office…. jumped out of the car swiftly without locking the door. I was afraid any delay would make me change my mind…I walked upstairs. Jane opened the door and I said to her, Sorry, Jane, I do not want the divorce anymore.

She looked at me, astonished, and then touched my forehead. Do you have a fever? She said. I moved her hand off my head. Sorry, Jane, I said, I won’t divorce. My marriage life was boring probably because she and I didn’t value the details of our lives, not because we didn’t love each other anymore. Now I realize that since I carried her into my home on our wedding day I am supposed to hold her until death do us apart. Jane seemed to suddenly wake up. She gave me a loud slap and then slammed the door and burst into tears. I walked downstairs and drove away. At the floral shop on the way, I ordered a bouquet of flowers for my wife. The salesgirl asked me what to write on the card. I smiled and wrote, I’ll carry you out every morning until death do us apart.

That evening I arrived home, flowers in my hands, a smile on my face, I run up stairs, only to find my wife in the bed -dead. My wife had been fighting CANCER for months and I was so busy with Jane to even notice. She knew that she would die soon and she wanted to save me from the whatever negative reaction from our son, in case we push through with the divorce.— At least, in the eyes of our son—- I’m a loving husband….  

♥♥ The small details of your lives are what really matter in a relationship. It is not the mansion, the car, property, the money in the bank. These create an environment conducive for happiness but cannot give happiness in themselves. 


 



Raja Yang Bijaksana

Bahan Bacaan: 1Raja-raja 3:16-28 
 
Suatu hari dua orang wanita datang ke hadapan Raja Salomo. Mereka
berebut anak. Keduanya sama-sama baru melahirkan. Mereka tinggal
bersama. Salah satu ibu karena tidur nyenyak tidak sadar menindih
bayinya. Bayinya akhirnya meninggal. Ibu itu lalu menukarkan bayinya.
Yang sudah mati ditukar dengan yang masih hidup. Saat ibu bayi yang
masih hidup bangun, dia kaget. Kenapa anakya mati? Lalu dia sadar itu
bukan bayinya.
Waktu dia melihat bayinya digendong temannya, dia marah. “Itu bayiku,
bayimu sudah mati. Kamu menukarnya dengan bayiku.”
Ibu yang palsu
berkata, “Ini bayiku! Bayimu yang mati itu!” Ibu-ibu itu lalu ribut.
Tetangga-tetangganya melerai. Mereka mengusulkan agar perkara itu di
serahkan kepada Raja Salomo.
Kedua ibu itu pergi ke Istana. Mereka bertemu dengan raja Salomo. Di
depan raja mereka terus ribut. Ibu yang palsu maupun yang asli. Mereka
sama-sama menginginkan bayi yang masih hidup itu.
“DIAM!” tegur Raja Salomo. Dia sudah tidak tahan mendengar keributan.

Dia minta pengawalnya mengambil pedang. “Taruh bayi itu di depanku.
Daripada terus bertengkar, bayi ini kubagi dua saja!”

Ibu yang palsu berkata sambil tersenyum, “Iya, bagi dua saja bayinya
biar adil!”


Tetapi ibu yang asli menangis dengan keras sambil berkata, “Jangggann… Tuanku Raja, jangan bunuh anakku. Biarlah wanita itu mengambil
anakku. Aku tidak mau anakku, Tuanku!”


Raja lalu berkata, “Ambil bayi itu, serahkan ke ibunya yang sedang
menangis itu. Dialah ibunya!”
Lalu ibu yang palsu dihukum dan
dimasukkan ke penjara.

Raja Salomo tahu ibu yang asli tidak mungkin ingin melihat anaknya
dibunuh. Raja Salomo tidak benar-benar ingin membunuh anak itu. Hanya
untuk menguji. Raja Salomo sungguh raja yang penuh hikmat. Karena dia
selalu menyenangkan hati Tuhan.

“Tetapi kepada manusia Ia berfirman: Sesungguhnya,
takut akan Tuhan, itulah hikmat, dan menjauhi kejahatan
itulah akal budi.” (Ayub 28:28)


Tuhan, beban ku berat :'(

"Mengapa bebanku berat sekali?" aku berpikir sambil membanting pintu kamarku dan bersender. "Tidak adakah istirahat dari hidup ini?". Aku menghempaskan badanku ke ranjang, menutupi telingaku dengan bantal.

"Ya Tuhan," aku menangis, "Biarkan aku tidur...Biarkan aku tidur dan tidak pernah bangun kembali!" Dengan tersedu-sedu, aku mencoba untuk meyakinkan diriku untuk melupakan.

Tiba-tiba gelap mulai menguasai pandanganku, Lalu, suatu cahaya yang sangat bersinar mengelilingiku ketika aku mulai sadar. Aku memusatkan perhatianku pada sumber cahaya itu. Sesosok pria berdiri di depan salib.

"Anakku," orang itu bertanya, "Mengapa engkau datang kepada-Ku sebelum Aku siap memanggilmu?"

"Tuhan, aku mohon ampun. Ini karena... aku tidak bisa melanjutkannya. Kau lihat! betapa berat hidupku. Lihat beban berat di punggungku. Aku bahkan tidak bisa mengangkatnya lagi."

"Tetapi, bukankah Aku pernah bersabda kepadamu untuk datang kepadaku semua yang letih lesu dan berbeban berat, karena Aku akan memberikan kelegaan kepadamu. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan."

"Aku tahu Engkau pasti akan mengatakan hal itu. Tetapi kenapa bebanku begitu berat?"

"Anak-Ku, setiap orang di dunia memiliki beban. Mungkin kau ingin mencoba salib yang lain?"

"Aku bisa melakukan hal itu?"

Ia menunjuk beberapa salib yang berada di depan kaki-Nya. Kau bisa mencoba semua ini. Semua salib itu berukuran sama. Tetapi setiap salib tertera nama orang yang memikulnya.

"Itu punya Joan," kataku.

Joan menikah dengan seorang kaya raya. Ia tinggal di lingkungan yang nyaman dan memiliki 3 anak perempuan yang cantik dengan pakaian yang bagus-bagus.Kadangkala ia menyetir sendiri ke gereja dengan mobil Cadillac suaminya kalau mobilnya rusak.

"Umm, aku coba punya Joan. Sepertinya hidupnya tenang-tenang saja. Seberat apa beban yang Joan panggul?" pikirku.

Tuhan melepaskan bebanku dan meletakkan beban Joan di pundakku. Aku langsung terjatuh seketika.

"Lepaskan beban ini!" teriakku. "Apa yang menyebabkan beban ini sangat berat?"

"Lihat ke dalamnya."

Aku membuka ikatan beban itu dan membukanya. Di dalamnya terdapat gambaran ibu mertua Joan, dan ketika aku mengangkatnya, ibu mertua Joan mulai berbicara, "Joan, kau tidak pantas untuk anakku, tidak akan pernah pantas. Ia tidak seharusnya menikah denganmu.Kau adalah wanita yang terburuk untuk cucu-cucuku !! "

Aku segera meletakkan gambaran itu dan mengangkat gambaran yang lain. Itu adalah Donna, adik terkecil Joan. Kepala Donna dibalut sejak operasi epilepsi yang gagal itu. Gambaran yang ketiga adalah adik laki-laki Joan. Ia kecanduan narkoba,telah dijatuhi hukuman karena membunuh seorang perwira polisi.

"Aku tahu sekarang mengapa bebannya sangat berat, Tuhan. Tetapi ia selalu tersenyum dan suka menolong orang lain. Aku tidak menyadarinya..."

"Apakah kau ingin mencoba yang lain?" tanya Tuhan dengan pelan.

Aku mencoba beberapa. Beban Paula terasa sangat berat juga: Ia melihara 4 orang anak laki-laki tanpa suami. Debra punya juga demikian: masa kecilnya yang dinodai olah penganiayaan seksual dan menikah karena paksaan. Ketika aku melihat beban Ruth, aku tidak ingin mencobanya. Aku tahu di dalamnya ada penyakit Arthritis, usia lanjut, dan tuntutan bekerja penuh sementara suami tercintanya berada di Panti Jompo.

"Beban mereka semua sangat berat, Tuhan" kataku. "Kembalikan bebanku"

Ketika aku mulai memasang bebanku kembali, aku merasa bebanku lebih ringan dibandingkan yang lain.

"Mari kita lihat ke dalamnya," Tuhan berkata.

Aku menolak, menggenggam bebanku erat-erat. "Itu bukan ide yang baik," jawabku.

"Mengapa?"

"Karena banyak sampah di dalamnya."

"Biar Aku lihat"

Suara Tuhan yang lemah lembut membuatku luluh. Aku membuka bebanku. Ia mengambil satu buah batu bata dari dalam bebanku.

"Katakan kepada-Ku mengenai hal ini."

"Tuhan, Engkau tahu itu. Itu adalah uang. Aku tahu kalau kami tidak semenderita seperti orang lain di beberapa negara atau seperti tuna wisma di sini. Tetapi kami tidak memiliki asuransi, dan ketika anak-anak sakit, kami tidak selalu bisa membawa mereka ke dokter. Mereka bahkan belum pernah pergi ke dokter gigi. Dan aku sedih untuk memberikan mereka pakaian bekas."

"Anak-Ku, Aku selalu memberikan kebutuhanmu.... dan semua anak-anakmu. Aku selalu memberikan mereka badan yang sehat. Aku mengajari mereka bahwa pakaian mewah tidak membuat seorang berharga di mataKu."

Kemudian ia mengambil sebuah gambaran seorang anak laki-laki.! "Dan yang ini?" tanya Tuhan.

"Andrew..." aku menundukkan kepala, merasa malu untuk menyebut anakku sebagai sebuah beban.

"Tetapi, Tuhan, ia sangat hiperaktif. Ia tidak bisa diam seperti yang lain, ia bahkan membuatku sangat kelelahan. Ia selalu terluka, dan orang lain yang membalutnya berpikir akulah yang menganiayanya. Aku berteriak kepadanya selalu. Mungkin suatu saat aku benar-benar menyakitinya..."

"Anak-Ku," Tuhan berkata.

"Jika kau percayakan kepada-Ku, aku akan memperbaharui kekuatanmu, dan jika engkau mengijinkan Aku untuk mengisimu dengan Roh Kudus, aku akan memberikan engkau kesabaran."

Kemudian Ia mengambil beberapa kerikil dari bebanku.

"Ya, Tuhan.." aku berkata sambil menarik nafas panjang. "Kerikil-kerikil itu memang kecil. Tetapi semua itu adalah penting. Aku membenci rambutku. Rambutku tipis, dan aku tidak bisa membuatnya kelihatan bagus. Aku tidak mampu untuk pergi ke salon. Aku kegemukan dan tidak bisa menjalankan diet. Aku benci semua pakaianku. Aku benci penampilanku!"

"Anak-Ku, orang memang melihat engkau dari penampilan luar, tetapi Aku melihat jauh sampai ke dalamnya hatimu. Dengan Roh Kudus, kau akan memperoleh pengendalian diri Tetapi keindahanmu tidak harus datang dari luar. Bahkan, seharusnya berasal dari dalam hatimu, kecantikan diri yang tidak akan pernah hilang dimakan waktu. Itulah yang berharga di mata-Ku."

Bebanku sekarang tampaknya lebih ringan dari sebelumnya. "Aku pikir aku bisa menghadapinya sekarang," kataku,

"Yang terakhir, berikan kepada-Ku batu bata yang terakhir." kata Tuhan.

"Oh, Engkau tidak perlu mengambilnya. Aku bisa mengatasinya."

"Anak-Ku, berikan kepadaKu."

Kembali suara-Nya membuatku luluh. Ia mengulurkan tangan-Nya, dan untuk pertama kalinya Aku melihat luka-Nya.

"Tuhan....Bagaimana dengan tangan-Mu? Tangan-Mu penuh dengan luka!!"

Aku tidak lagi memperhatikan bebanku, aku melihat wajah-Nya untuk pertama kalinya. Dan pada dahi-Nya, kulihat luka yang sangat dalam... tampaknya seseorang telah menekan mahkota duri terlalu dalam ke dagingNya.

"Tuhan," aku berbisik. "Apa yang terjadi dengan Engkau?"

Mata-Nya yang penuh kasih menyentuh kalbuku."AnakKu, kau tahu itu. Berikan kepadaku bebanmu. Itu adalah milikKu. Aku telah membelinya."

"Bagaimana?"

"Dengan darah-Ku"

"Tetapi kenapa Tuhan?"

"Karena aku telah mencintaimu dengan cinta abadi, yang tak akan punah dengan waktu. Berikan kepadaKu."

Aku memberikan bebanku yang kotor dan mengerikan itu ke tangan-Nya yang terluka. Beban itu penuh dengan kotoran dan iblis dalam kehidupanku: kesombongan, egois, depresi yang terus-menerus menyiksaku. Kemudian Ia mengambil salibku kemudian menghempaskan salib itu ke kolam yang berisi dengan darahNya yang kudus. Percikan yang ditimbulkan oleh salib itu luar biasa besarnya.

"Sekarang anak-Ku, kau harus kembali. Aku akan bersamamu selalu. Ketika kau berada dalam masalah, panggillah Aku dan Aku akan membantumu dan menunjukkan hal-hal yang tidak bisa kau bayangkan sekarang."

"Ya, Tuhan, aku akan memanggil-Mu." Aku mengambil kembali bebanku.

"Kau boleh meninggalkannya di sini jika engkau mau. Kau lihat beban-beban itu? Mereka adalah kepunyaan orang-orang yang telah meninggalkannya di kakiKu, yaitu Joan, Paula, Debra, Ruth... Ketika kau meninggalkan bebanMu di sini, aku akan menggendongnya bersamamu. Ingat, kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan."
Seketika aku meletakkan bebanku, cahaya itu mulai menghilang. Namun, masih kudengar suaraNya berbisik, "Aku tidak akan meninggalkanmu, atau melepaskanmu."

Thanks God ♥

Siang, Veliza waktunya minum obat!” terdengar suara lembut dari balik pintu diiringi suara langkah kaki yang semakin mendekat membuyarkan lamunanku.

Ya” jawabku lemah. Suster Reni memberikan obat-obatan yang aku benci. Aku benci minum obat, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Sejak aku divonis menderita kanker otak setengah tahun lalu, obat mau tidak mau harus menjadi sahabatku.

Veliz, kamu kenapa sayang? Ada yang sakit?” Tanya suster Reni dengan penuh perhatian sambil mengelus kepalaku. Suster Reni sangat baik dan sabar terhadapku. Kami bersahabat sejak aku menjadi pelanggan tetap rumah sakit ini.

Sus, biasanya berapa lama lagi waktu yang tersisa untuk orang yang mempunyai penyakit seperti aku?” tanyaku datar.

Veliz, tidak ada yang pernah tau umur seseorang. Itu semua rahasia Tuhan”. Jawab suster Reni sambil memelukku.

Kamu harus tetap berjuang untuk kamu sendiri, orang-orang yang mencintai kamu dan kamu cintai, lakukan yang terbaik yang bisa kamu lakukan. Sekarang kamu tidur ya! Kamu harus banyak istirahat agar kamu cepat sembuh! Selamat malam sayang, mimpi indah ya!” ujar suster Reni dan pergi berlalu setelah memastikan aku sudah meminum semua obat yang dia berikan. ”Oh ya hampir saja lupa, mulai besok kamu akan ditangani dokter baru, karena dokter Hendrawan akan melakukan riset keluar negri selama beberapa bulan”. Kepala suster Reni muncul dari balik tirai sambil tersenyum. Dan kali ini dia benar-benar pergi.

Aku mengambil diaryku sambil tersenyum mengingat kata-katanya,
Berjuang? Lakukan yang terbaik? Apa yang bisa dilakukan anak 19 tahun yang telah divonis kanker seperti aku. Berjuang untuk apa? Lakukan yang terbaik untuk siapa? Akupun tidak pernah merasakan cinta. Dari kedua orangtuaku pun tidak. Mereka selalu sibuk dengan pekerjaan mereka. Apakah mereka mencintai aku?? Apa cinta itu ada?????

♥♥♥

Veli... oh dia masih tertidur dok” bisik suster Reni pada dokter disebelahnya.

Jadi gadis ini yang dokter Hendrawan
ceritakan?” tanya dokter Denny pelan.

Dia bangun”. Ucap dokter Denny sambil memberi isyarat kepada suster Reni.

Pagi Veliza”. Sapa suster Reni hangat. “Ayo kamu tidur jam berapa semalam?”

Aku hanya tersenyum, sambil sekuat tenaga mengumpulkan seluruh energiku untuk benar-benar bangun dan membuka mataku. Tapi ada yang aneh hari ini. Siapa sosok laki-laki disebelah suster Reni yang menatapku tajam? Tanyaku dalam hati.

Jam berapa ini?” tanyaku lemah. Terus terang aku masih mengantuk

Jam 8.30 sayang.” Jawab suster Reni sambil menunjukkan jam tangannya. ”Gimana keadaan kamu hari ini? Baik?”

Ya, seperti biasanya” jawabku datar.
Suster Reni hanya tersenyum mendengar langganan atas jawabanku.

Oh ya sampai lupa, Veliza perkenalkan ini dokter Denny, dia yang akan menggantikan dokter Hendrawan.”
dokter Denny mengulurkan tangannya untuk bersalaman, akupun menyambutnya.

Hi Veliza, senang berkenalan dengan kamu.” sapanya sambil tersenyum hangat.

Hi” jawabku datar. Aku tidak pernah mau peduli dengan dokter-dokter yang akan merawatku, buatku semua sama saja. Sama-sama dokter yang kerjaannya membuatku tersiksa.

Sekarang saya periksa kamu dulu ya!” dia pun mulai memeriksaku. ”Kondisi kamu cukup baik, kalau kondisi kamu stabil seperti ini terus, kamu akan cepat sembuh.”

Wah bisa cepat pulang dong dok?” tanya suster Reni antusias.

Ya” jawab dokter Denny sambil tersenyum.

Aku hanya diam, tidak menanggapi. Buatku, kata-kata itu adalah sandiwara dokter dan suster untuk memberikan semangat pada pasien-pasien yang hampir sekarat seperti aku. Aku muak dengan kebohongan mereka. Mungkin maksud mereka baik, tetapi mereka tidak pernah tahu kalau kebohongan itu bisa membuat harapan kosong yang akan menyakitkan nantinya.

Veliz” suara suster Reni membuyarkan lamunanku. ”Kamu melamun lagi sayang?”

Dok, tolong jangan pernah memberikan saya harapan seperti tadi. Sembuh? Apa ada orang yang menderita kanker dan bisa sembuh? Saya tahu dok, saya gak mungkin bisa sembuh. Jadi dokter gak usah kasih saya harapan apa-apa.” sahutku dingin.

Suster Reni dan dokter Denny pun terkejut dengan kata-kata yang aku lontarkan. Suster Reni sangat mengerti kepedihanku, diapun hanya bisa terdiam.

Kata siapa orang yang menderita penyakit kanker tidak bisa sembuh?” tanya dokter Denny.

Aku diam dan memalingkan wajahku
kearah jendela.

Memang panyakit yang kamu alami adalah penyakit mematikan. Mungkin hanya 1 diantara jutaan orang yang bisa sembuh dan kembali hidup normal. Tetapi harapan untuk mejadi 1 diantara jutaan orang itu selalu ada jika kamu mau!

Veliz, saya tahu tidak mudah menjalani hidup dalam keadaan sakit seperti kamu. Namun hidup harus tetap berjalan. Jangan pernah berhenti untuk berharap. Karena dengan harapan, kita mempunyai semangat untuk melakukan yang terbaik”. ujar dokter Denny sebelum dia pergi meninggalkan kamarku.

Sayang, kamu makan dulu ya sarapannya, setelah itu minum obatnya.” perintah suster Reni. Akupun menurut. Setelah memastikan aku memakan sarapanku dan meminum obatnya suster Reni berpamitan untuk menjalankan tugasnya yang lain.

Harapan? Harapan apa yang pantas untuk orang yang sedang menunggu ajal seperti aku? Aku hanya bisa menangis dan mendekap diary ku erat-erat.

♥♥♥

Hi Veliz....” terdengar teriakan dari balik tirai. Surprise!!! Hehehehe... merekapun bermunculan satu persatu.

I miss you beib” seru Sasa, Jenifer dan Kevin bersamaan.

Mereka adalah sahabat-sahabatku sejak SMP.

Hi guys!” sapaku ceria. Aku selalu senang akan kedatangan mereka. Hanya mereka yang mampu menghibur kesedihanku.

Vel, kamu abis nangis?” tanya Jenifer yang akrab dipanggil jeje.

"Hah? gak kok.” jawabku berbohong, berharap mereka mempercayainya.

Bener?” sambung Kevin sebelum pergi mangambil kursi roda untukku.

Iya. Aku kan udah janji untuk gak nangis lagi.” ujarku menyakinkan mereka.

Aku memang sudah berjanji pada diriku sendiri dan kepada mereka untuk tidak menangis lagi karena penyakitku ini. Tapi mendengar kata-kata dokter Denny tadi pagi, entah kenapa air mataku jatuh lagi.

Merekapun tersenyum mendengar jawabanku dan sepertinya berusaha untuk mempercayainya.

Kalian bawa apa?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.

Biasa, kita bawa puding buah kesukaan kamu nih!” jawab Sasa sambil mengeluarkan puding yang dibawa. Kevin kembali dengan membawa kursi roda untukku. Sasa dan Jeje membantu aku untuk duduk dikursi roda itu dan kami pun berjalan ke taman.

Vel, tadi kita ketemu dokter ganteng loh.” celoteh Jeje ditengah perjalanan menuju taman

Kaya bintang film korea hehehe......”

Ha? Masa sih? Aku gak pernah liat.” jawabku

Ia Vel kita juga baru liat tadi. Kayaknya selama ini besuk kamu belum pernah liat deh dokter ganteng yang satu ini.” Sasa menimpali sambil senyum-senyum sendiri.

Duh loe orang ya, gak bisa ngeliat yang ganteng dikit langsung pada belingsatan gitu kaya cacing kepanasan. Emang gue kurang ganteng apa?” ujar Kevin sambil bergaya layaknya model.

Ia loe ganteng kok. Tapi kalo dibandinginnya sama sih ciko, anjing gue!” jawab Jeje sambil tertawa.

Merekapun bercerita banyak di taman sambil memakan puding buah yang dibawa Sasa. Dari mulai gosip-gosip yang lagi hot, kejadian-kejadian lucu dikampus, sampai cerita mengenai cewek yang sedang tergila-gila dengan Kevin sahabatku. Aku sangat senang mendengar cerita mereka.

Vel-vel” teriak Sasa mengagetkan. ”Itu Vel si dokter ganteng”.

Iya iya itu dia yang kita maksud tadi” Jeje menimpali sambil melihat ke arah kantin rumah sakit yang berada di sebrang taman, tidak jauh dari tempat mereka duduk.

Mana sih? Disitukan banyak dokter lagi makan.” tanyaku bingung

Oh my hunny bunny sweety... disitu emang banyak dokter yang lagi makan, tapi yang ganteng and masih muda kan cuma satu!” ujar Sasa sambil menggelengkan kepala

Hunny, masa kita terpesona sama dokter-dokter yang udah kadaluarsa kaya gitu sih. Please deh?”
Mereka semua tertawa mendengar perkataan Sasa.

Ih parah loe, dosa tau ngatain orang tua” sambung Kevin sok bijak

Dosa-dosa tapi loe juga ketawa. Dasar loe munaroh, temennya si munafik!”

Aku tertawa geli melihat mereka beradu mulut sambil memperhatikan ke arah kantin, penasaran dengan dokter ganteng yang dimaksud oleh Sasa dan Jeje.

"Jangan-jangan yang pake kemeja coklat?” tanyaku menghentikan tawa mereka.

Yupsssss beib, gimana ganteng kan?” tanya Jeje sambil senyam senyum sendiri.

Oh”

Loh kok cuma oh sih?” sambung Sasa bingung.

Itu dokter Denny, sampai dokter Hendrawan pulang dari luar negri, dia yang akan menangani aku.” Jawabku datar.

WHAT?” teriak Sasa dan Jeje memekakkan telinga.

Ya ampun Vel, enak dunk tiap hari bisa liat yang bening-bening hehehe”. seru Sasa dengan semangat 45.

Tapi loe kok kayaknya biasa aja sih? Harusnyakan loe seneng, yang ngerawat loe ganteng. Ya walaupun dokter Hendrawan juga ganteng tapi kan udah tua, udah gak asik lagi dikecengin hahahaha.... Kalo ibarat vitamin dokter Denny A+, dokter Hendrawan B+.” Mendengar celotehan Jeje mereka semuapun tertawa geli.

Ih sinting loe ya Je? Loe kira dikampus, ngeceng? Parah nih anak! Alvin sanggup ya punya cewek kaya loe?” sahut Kevin sambil menggelengkan kepala.

Hus..becanda kali Vin, tapi kalo dia mau sama gue sih, gue gak bakal nolak hahaha.”

Hmm, lagi pada cerita apa nih? Seru banget kayaknya!” suara suster Reni yang tiba-tiba muncul membuat kami semua berhenti tertawa.

Hi sus..” sapa Sasa, Jeje, dan Kevin.

Loh kok berhenti ketawanya?”

Hehehe, gak enak hati sama suster” kata Jeje sambil tersipu malu.

Suster gak dengerkan?”

Denger? Denger apa? Saya cuma denger kalian ketawa aja tuh!” jawab suster Reni.

Amin.” sahut Jeje lega.

Aku, Sasa, dan Kevin tertawa melihat tingkah laku Jeje.

Veliz, waktunya pemeriksaan labolatorium. Dokter Denny udah nungguin kamu di ruang lab. Maaf ya ganggu waktu kalian” ucap suster Reni.

Kita juga udah mau pamit kok sus” sahut Sasa.

Merekapun memelukku berpamitan. ”We love you hunny, btw titip salam ya sama si ganteng.” bisik Sasa dan Jeje sambil tertawa kecil.

Aku hanya bisa tertawa mendengar kecentilan dua sahabatku itu.

Vel, takecare ya!
Sus, kita pamit dulu. Titip Veliz ya!” ujar Kevin kepada suster Reni. Suster Reni pun tersenyum

Saya akan merawatnya dengan baik”.

Bye-bye, i will miss you so much!”. Sahutku mengiringi kepergian mereka.

Suster Reni mendorongku ke ruang lab yang cukup jauh dari taman.

Suster seneng deh liat kamu ceria kaya gini. Emangnya tadi ngegosipin apa sih? Kok kayaknya seru banget?” Tanya suster Reni penasaran.

Aku tersenyum membayangkan lelucon Jeje tadi, tidak terbayang kalo suster Reni sampai tau.

Ada deh. Kalo yang ini suster gak boleh tau hehehe”

Setibanya kami di ruang lab, suster Reni pun meninggalkanku. Sudah ada dokter Denny dan Koas Kelly asistennya dokter Hendrawan.

Halo Veliz cantik hari ini wajah kamu keliatannya ceria sekali” sapa koas Kelly sambil tersenyum.

Aku hanya tersenyum kecil. Aku memang akan menjadi pendiam saat berhadapan dengan anggota rumah sakit. Bahkan beberapa suster malas berbicara denganku, karena aku hanya menaggapi semua perkataan mereka dengan senyum seadanya. Tapi tidak dengan koas Kelly, dia tetap ramah denganku. Walaupun aku selalu menanggapinya dengan senyum yang terpaksa.

Bisa dimulai?” suara dokter Denny meminta persetujuan untuk dilakukan pemeriksaan. kurang lebih satu jam aku menjalani pemeriksaan. Entah pemeriksaan apa itu, aku tidak pernah mau tau.

Dok, saya pamit duluan ya. Saya udah terlambat nih mau kencan hehehe.

Veliz, saya duluan ya.” pamit Koas Kelly terburu-buru. Aku dan dokter Denny hanya mengangukkan kepala.

Aku menunggu jemputan suster Reni yang tidak kunjung datang.

Dering telepon cukup ampuh memecahkan keheningan.

Saya akan antar kamu ke kamar” ujar dokter Denny setelah menerima telepon.

Suster Reni pulang cepat, anaknya sakit”. Dia pun langsung mengantarku ke kamar.

♥♥♥

Keadaanku semakin membaik, dan hari ini aku diperbolehkan untuk pulang. Walaupun kedua orangtuaku masih tetap sibuk, tetapi setidaknya aku terbebas dari penjara rumah sakit ini. Hubunganku dengan dokter Denny tidak terlalu baik, sama dengan semua dokter yang ada disini. Namun, sebelum aku pulang dokter Denny meminta izin untuk mengajakku kesuatu tempat. Setelah beberapa kali aku menolaknya, akhirnya aku menyetujuinya karena terpaksa.

Veliz, kamu sudah siap?” suara dokter Denny yang tiba-tiba muncul bersama suster Reni.

Sudah dok!” jawabku

Veliz sayang jangan lupa ya, minum obat dan kontrol secara teratur!” ujar suster Reni dengan penuh perhatian sambil merangkulku. Aku hanya tersenyum tanpa berkata apa-apa dan memeluknya sebagai tanda perpisahan, perpisahan sementara karena aku pasti akan kembali.

♥♥♥

Selama perjalanan, aku hanya terdiam memperhatikan jalan. Sesekali dokter Denny bertanya mengenai diriku untuk memecahkan keheningan.

Akhirnya mobil yang aku naiki berhenti didepan sebuah rumah berbalut cat biru langit yang memiliki taman yang cukup luas. Satu lagi, banyak anak-anak yang sedang main ditaman itu.

Turun yuk, kita sudah sampai!” kata dokter Denny antusias

Kita dimana?” tanyaku penasaran

Hmmmm.... dimana ya?” katanya semakin membuatku penasaran.

Kalo dokter gak mau kasih tau aku gak mau turun!” ancamku kesal

Dokter Denny tertawa kecil mendengar ancamanku ”Veliz, kamu tau gak? Kalo kamu pasien aku yang paling radikal yang pernah aku temuin!”

Radikal?” tanyaku

Ya! Aku, bahkan semua orang dirumah sakit jarang sekali mendengar suara kamu. Kalo ditanya, kamu cuma senyum seadanya.

Radikalkan?” kata dokter Denny sambil menatapku. Aku terdiam dan langsung mengalihkan pandanganku.

Tuhkan bener! Velz, aku tau ini bukan diri kamu yang sesungguhnya. Diri kamu yang sesungguhnya cuma bisa aku lihat saat kamu bersama teman-teman kamu.” serunya dengan lembut, dia terdiam sejenak dan kemudian melanjutkan perkataannya

Aku memang gak pernah bisa memposisikan diri aku sebagai kamu, tapi aku selalu bisa merasakan apa yang pasien aku rasakan, termasuk terhadap kamu. Satu hal yang harus kamu tau dan sadari, Hidup yang sekarang kita jalani adalah anugrah Tuhan. Anugrah Tuhan yang membuat kita masih bisa menghirup udara bebas seperti sekarang. Jangan pernah takut dengan vonis yang nyatakan oleh manusia. Dokter hanya manusia biasa yang juga hidup karena anugrah Tuhan. Serahkan semua kekhawatiran kamu sama Tuhan, karena Tuhan yang memiliki kehendak penuh atas hidup kamu dan Tuhan juga tau yang terbaik untuk kamu. Jangan pernah berhenti berharap Veliz, menjadi 1 diantara jutaan orang untuk mendapatkan mujizat-Nya.” kata-kata yang baru saja aku dengar sanggup membuat hatiku bergetar, air matakupun jatuh tidak tertahankan. Aku sadar kalau selama ini ada yang sudah aku lupakan Tuhan yang mempunyai seluruh hidup manusia.

Itu adalah Rumah Pelangi. Aku dan teman-temanku percaya kalau Tuhan akan selalu menjanjikan pelangi untuk setiap anak-anak-Nya.” kata dokter Denny sambil memberikan sapu tangannya kepadaku.

Hapus air mata kamu dan turunlah, kamu akan menemukan anak-anak dengan jutaan harapan yang mereka miliki”

Aku menghapus air mataku dan turun mengikutinya.

Teriakkan dan pelukkan menghujaninya, sambutan yang sangat hangat.

Ini adalah panti asuhan yang aku dirikan bersama dengan beberapa teman-temanku. Kamu lihat anak-anak ini? Mereka sudah dibuang sejak kecil, tetapi mereka tidak larut dalam kesedihan. Mereka tau kalau mereka harus tetap menjalani hidupnya untuk suatu harapan yang mereka miliki. Terus terang, aku juga banyak belajar dari mereka. Mereka yang tidak pernah menyerah untuk terus berharap menggapai cita-cita yang mereka miliki.” cerita dokter Denny terakhir sebelum dia pergi bermain dengan anak-anak kecil itu.

Aku duduk disudut ruangan dan merenungkan semua yang telah terjadi didalam hidupku. Air matakupun tidak tertahankan lagi membasahi pipiku mengingat semuanya. Sejak divonis kanker setengah tahun lalu, hatiku hancur berkeping-keping. Semua cita-cita yang aku miliki lenyap seketika. Aku tidak lagi memiliki harapan untuk hidup. Namun sekarang aku tau semua itu adalah sebuah kekeliruan. Tuhan mulai saat ini aku akan selalu berharap untuk mendapatkan mujizat-Mu, menjadi 1 diantara jutaan orang yang ada untuk sembuh. Aku juga akan berjuang yang terbaik untuk menggapai harapanku.

Kakak kenapa nangis?” tanya salah satu anak panti yang membuyarkan lamunanku.

Kakak gak apa-apa kok!” jawabku sambil tersenyum tulus kepadanya.

Kamu kok gak ikut main?”

Udah tadi” jawabnya polos sambil tersenyum.

Kak, ini dari kak Denny” kata gadis itu sambil menyerahkan sebuah kotak kecil padaku, anak kecil itupun kembali pergi untuk bermain ayunan bersama dengan teman-temannya.

Aku membuka kota kecil itu. Aku sangat kaget melihat isinya. Coklat dan sebuah kartu, entah darimana dia tau coklat favoritku. Aku membuka dan membacanya.

Aku tau dari suster Reni coklat kesukaan kamu, dia cerita banyak tentang kamu (aku sih yang tanya, abis aku penasaran hehehe..) Veliz, setiap manusia diciptakan beraneka ragam begitu pula dengan masalah yang dihadapi. Tapi aku mau kamu tau satu hal, aku akan selalu berusaha untuk selalu ada disamping kamu. (walaupun kamu selalu cuekin aku >.<, tapi aku gak pernah bisa memungkiri kalau kamu sudah menempati satu posisi penting di hatiku ^.^)

Aku tersenyum membacanya, akupun menatapnya dikejauhan yang sedang berada ditengah dikumpulan anak-anak. Sekarang aku baru menyadari apa yang sahabatnya katakan tentang dokter Denny, dia memang tampan. Tidak hanya tampan, dia juga bisa membuatku terbangun dari tidurku yang panjang.

Dokter Denny datang menghampiriku, ”Kamu mau gabung main sama kita?” tanyanya sambil tersenyum.

Ya!” jawabku sambil tersenyum menatapnya. Dia mengulurkan tangannya, dan aku menyambut tangannya.

3 bulan kemudian
Suster Reni membagikan satu persatu surat yang digenggamnya sebelum ia meninggalkan tempat itu.

Dear papa & mama,

Mungkin kita jarang berbicara. Papa dan mama terlalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Akupun sempat meragukan apakah kalian mencintaiku? Menyayangiku? karena sejujurnya aku tidak pernah merasakan itu. Mungkin aku memiliki segalanya yang tidak dimiliki oleh anak-anak lain diluar sana tapi aku tidak pernah merasakan kebahagian sesungguhnya. Aku belajar memahami walaupun sakit karena aku juga ingin kalian pahami. Akupun hanya bisa berdoa agar aku dapat merasakan kasih sayang kalian suatu saat nanti. Papa, mama, trima kasih untuk pelukan hangat, tangis dan genggaman tangan kalian disaat-saat terakhirku. Walaupun hanya sebentar tapi aku sangat bahagia karena Tuhan sudah menjawab doaku. Papa, mama, aku sangat menyayangi kalian lebih dari apapun. Trimakasih untuk semuanya.
From the deepest of my heart i wanna say I LOVE YOU.

Dear my lovely friends,

Dulu aku hanya bisa menagisi nasipku, garis takdir yang tidak pernah kuingini. Akupun pernah menganggap Tuhan seperti tidak ada karena Dia tidak pernah peduli denganku, kebahagiaanku. Bertahun-tahun aku merasakan kehampaan, tidak ada satu orangpun yang memperdulikanku. Namun aku tau sekarang, Engkau tidak pernah melupakanku. Engkau mengirimkan sahabat-sahabat yang mengasihiku. Jenifer, Sasa, kevin, trimaksih untuk persahabatannya selama ini. Kalian yang selalu berusaha ada disisiku. Aku hanya bisa mengatakan betapa aku sangat mengasihi kalian semua...... trimakasih untuk semuanya I LOVE YOU ALL.... =)
Jangan menangis karena sekarang aku sedang tersenyum bahagia mengenang persahabatan kita.

With Love,
Your friend Veliza ^.^

Trimakasih ya dok, sudah membuat Veliz melakukan yang terbaik untuk kesembuhannya selama 3 bulan belakangan ini, walaupun Tuhan berkehendak lain.”

suster Reni sambil menyerahkan surat terakhir yang digenggamnya setelah itu ia pamit meninggalkan tempat itu. Dokter Denny berusaha untuk tetap tersenyum ditengah kepedihannya yang mendalam. Ia pun membuka surat itu perlahan dan membacanya.

Dear dr. Denny,

Entah apa maksud Tuhan menghadirkan kamu didalam hidupku.
Kamu yang tiba-tiba datang membangunkanku, mengingatkanku atas anugrah Tuhan yang sempat kulupakan. Kamu yang mengajarkanku arti dari sebuah harapan dan cinta yang tidak pernah aku rasakan.Kamu juga yang membuat aku sanggup menghadapi kenyataan hidup ini.
Yang aku tau pasti, kamu membawa pelangi kebahagiaan didalam hidupku.
Trimakasih Tuhan, Engkau telah mengirimkan pelangi untuk mewarnai hari-hariku, walaupun hanya sebentar itu sangat berarti bagiku.
Denny, thank you for everything.
Thanks to your presence which always by my side.
Thanks to fill my days and my heart with your love.
You are the beautiful present which i ever had.
I love you more than you ever know.

With love,
Veliza

Veliz, kamu sekarang tidak akan merasa sakit lagi, tidak akan ada lagi suntikan-suntikan yang akan membuat kamu menangis.” kata dokter Denny tersenyum menatap tanah yang masih basah dan penuh dengan taburan bunga. ”Dan kamu akan selalu menempati posisi penting dalam hatiku.” 
 

----------------------------------------------------Tamat--------------------------------------------------------